Jabatan Tinggi, EQ Rendah? TIDAK semua mereka yang memiliki jabatan dan titel kesarjanaan tinggi memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Istilah kecerdasan emosional adakalanya disebut EI (emotional intelligence), EQ (emotional quotient), dan kecerdasan sosial. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi. Ketika membaca berita mengenai kekisruhan dalam rapat antara DPR dan Kejaksaan Agung belum lama ini, pikiran saya terdorong mengingat kembali teori Daniel Goleman seputar EQ untuk menganalisa perilaku pejabat tinggi dan politisi di pentas publik. Berdasar riset panjang, Goleman menyimpulkan, kecerdasan intelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang, terutama dalam dunia bisnis maupun sosial. Menurut Goleman, banyak sarjana yang cerdas dan saat kuliah selalu menjadi bintang kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anak buah teman sekelasnya yang prestasi akademiknya pas-pasan. Lalu, apa kunci keberhasilan hidup? Menurut dia, lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu aspek-aspek yang berkait dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya ada empat unsur pokok. Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi dirinya. Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Ketiga, senang bahkan mendorong melihat anak buah sukses, tanpa dirinya merasa terancam. Keempat, asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung. Untuk mengukur apakah seorang pimpinan memiliki kecerdasan emosional tinggi, jangan diukur dengan titel kesarjanaan dan kepangkatannya, tetapi tanyakan pada mereka yang selalu berhubungan dengannya, entah itu sopir, satpam, pembantu rumah tangga, anak buah, keluarga, maupun teman. Dari merekalah akan terpantul citra kepribadian seorang pemimpin, terutama di saat-saat seseorang terkondisikan untuk marah. Seberapa tinggi EQ seseorang mudah terlihat saat kritis, ketika suasananya tidak menguntungkan, bahkan dalam posisi terancam. Dengan tolok ukur ini kita mendapat kesan banyak pejabat tinggi yang EQ-nya rendah meski titel akademisnya tinggi, termasuk dalam penguasaan ilmu agama. Cirinya, pertama, jika bicara cenderung menyakiti dan menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok tergeser oleh pertengkaran ego pribadi. Yang terjadi kemudian persoalan tidak selesai, bahkan bertambah. Kedua, rendahnya motivasi kinerja anak buah untuk meraih prestasi karena tidak mendapat dorongan dan apresiasi dari atasan. Pimpinan dengan EQ tinggi akan mampu memotivasi diri, lalu beresonansi pada orang-orang di sekelilingnya, terutama anak buahnya. Berdasarkan pengalaman memberi pelatihan di lingkungan birokrasi pemerintahan maupun BUMN, ditemukan indikator kuat, hanya sedikit pemimpin yang mampu memberi motivasi kerja pada anak buahnya. Banyak pemimpin menjadi sasaran caci maki anak buah sehingga potensi dan dedikasi anak buah tidak optimal untuk memajukan perusahaan. Begitu rendahnya EQ sebagian pejabat tinggi kita, tidak mengherankan jika produktivitas rendah, bahkan banyak terjadi kebocoran anggaran. Menjelang akhir tahun, yang menjadi agenda utama adalah bagaimana menghabiskan anggaran dan membuat laporan keuangan agar tampak mulus meski hasil kinerjanya minus. Situasi ini dipertegas hasil penelitian TII yang menyatakan perilaku korupsi birokrasi dan bisnis di Jakarta sudah amat parah. Orang bukannya dipacu untuk meraih prestasi kerja, tetapi dibuat pusing dan sibuk mengenal serta memberi servis pada orang-orang yang dekat dengan pengambil keputusan. Banyak mahasiswa dan sarjana terkesan idealis saat di kampus, tetapi terhanyut begitu menjadi birokrat. Rasanya perlu dipikirkan adanya pekan orientasi sarjana sebelum wisuda. Isinya, memberi peringatan disertai data akurat bahwa setelah wisuda mereka akan memasuki dunia baru yang penuh ranjau dan lingkungan kerja serta sosial yang telah terkontaminasi virus korupsi dan manipulasi. Ini merupakan tugas akhir almamater, memberi peringatan dan tanggung jawab moral pada putra-putrinya agar memiliki komitmen untuk hidup terhormat, mengejar karier dengan panduan skill dan suara hati. Para psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan, yaitu intelektual, emosional, dan spiritual.
Milis Eramuslim
|
Jumat, 22 Juni 2012
IQ, EQ dan SQ
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar