Dalam era globalisasi modern seperti zaman sekarang ini banyak anak-anak
muda yang kritis terhadap agama mereka sendiri. Mereka tidak
segan-segan mempertanyakan keimanan dan aturan-aturan dalam agama. Kalau
kurikulum pendidikan agama yang mereka dapati di sekolah tidak mampu
meng-akomodasi masalah ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:
- Anak-anak muda ini menjadi ragu terhadap agama dan bila
keragu-raguan ini lambat laun menumpuk, mereka tidak segan-segan
mendeklerasikan diri keluar dari agama atau bahkan mencela agama,
- Mereka akan mencari
sumber-sumber informasi dari luar sekolah yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka. Informasi dari luar ini mungkin bisa
memuaskan keingintahuan dalam pemahaman terhadap agama. Bisa jadi ini
mengantarkan mereka kepada pemahaman agama yang benar, atau pemahaman
agama yang salah yang dapat melahirkan sikap ekstrimisme dalam beragama,
atau sebaliknya mungkin malah membuat mereka tambah ragu dan keluar
dari agama.
Berdasarkan pengalaman saya sejak SD sampai SMA di tanah air dahulu,
pelajaran-pelajaran agama di sekolah lebih bersifat kepada doktrin dan
sangat sedikit (kalau bisa dibilang ada) yang membahas kerangka berpikir
dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan terhadap masalah keimanan dan
aturan-aturan agama. Baru semasa kuliah S1 dulu, ketika saya tinggal
dengan beberapa teman sekamar non-Muslims, saya dihadapkan kepada banyak
pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan dari
pelajaran agama di sekolah di Indonesia.
Kebetulan teman sekamar saya dulu ada yang Kristen, ada yang atheist dan
ada yang agnostic. Saya dihadapkan kepada pertanyaan mengenai masalah
keimanan, baik dari:
- Si atheist:
- "Why do you believe in God that cannot be seen?",
- "Why do you believe in such God that creates evil in the world?", etc.,
- Si agnostic:
- "Why are you so sure that God sent down His revelation to us on this earth?",
- "Isn't possible
God of all religions is infact an alien -UFO- that has more advanced
technology than us who wants to control over us?", etc.,
- maupun dari Kristen:
- "Why are you not sure that you are going to heaven like us who accept Jesus died for our sin?",
- "Why do you believe in the Arabian Prophet who came 600 years later after Jesus?", etc.
Ada pula pertanyaan mengenai masalah tata cara ibadah yang diamati mereka:
- "Why do you have to wash 3-3 times?",
- "Why do you have to pray 5 times a day?",
- "Why do you have to face that way?",
- "Why do you have to say your prayer in Arabic?",
- "Why do you have to suffer not eating or drinking for many hours?", etc..
Belum lagi kalau ada peristiwa-peristiwa yang terjadi di Middle East yang diberitakan di media massa.
- "Look, Muslims are killing innocent people again!",
- "Are Muslims not allowed to live peacefully with people of other faith?",
- "Aren't you somewhat embarrassed to profess this faith that has
spilled so much blood in its history?", etc.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar seperti di atas
tidak pernah terdengar di tanah air yang mayoritas penduduknya Muslims,
sehingga tidak ada atau masih sedikit usaha dari pihak pengajar agama
untuk meng-akomodasi-nya.
Mungkin menurut banyak da'i di Indonesia, buat apa buang-buang waktu
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh macam itu, masih banyak
urusan umat yang nyata, yang harus diperbaiki. Para da'i seharusnya siap
menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sebelumnya tidak pernah
keluar (atau tidak berani) ditanyakan oleh generasi-generasi zaman
mereka. Mungkin dulu kita kalau bertanya mengenai banyak hal akan dicap
"kafir" oleh ustadz kita, tapi di zaman sekarang, sudah banyak anak-anak
yang sejak kecil (terutama yang dibesarkan di negara-negara barat) yang
kritis dan tidak mau menerima begitu saja doktrin tanpa penjelasan yang
masuk akal mereka. Dan saya rasa pertanyaan-pertanyaan macam ini cepat
atau lambat akan keluar juga dari para generasi muda akibat era
globalisasi di mana pertukaran informasi di bumi sudah terjadi dan tidak
bisa dihindarkan lagi. Dan bila tidak ada yang peduli terhadap masalah
ini, tidak mustahil tidak sedikit generasi muda yang bingung dan
berpandangan liberal yang menghalalkan segala-galanya, atau berpandangan
ekstrim yang mudah termakan emosi dan membuat konflik di masyarakat,
atau bisa pula menjadi ragu dan keluar dari agama. Ini semua muncul
akibat pemahaman agama yang salah.
Berdasarkan pengamatan saya, perasaan sensitif anak-anak muda terhadap
agama ini bisa dipengaruhi pula oleh pandangan mereka terhadap tingkah
laku orang-orang tua (terutama para ulama atau ustadz) yang mereka
anggap merupakan contoh "ideal" dari orang-orang yang ahli agama. Ketika
ada orang tua atau ulama yang melakukan sesuatu yang tidak mereka
sukai, "image" agama orang tersebut turut menjadi buruk dalam pandangan
mereka. Kekaguman mereka terhadap seorang ustadz misalnya berubah
menjadi kebencian (bukan hanya terhadap sang ustadz tapi juga terhadap
agamanya) setelah mengetahui "kekurangan" dari ustadz tersebut. Karena
itu tidak aneh kalau ada anak muda yang KTPnya Islam berkomentar:
- "Ah agama apaan tuh, ngajarinnya cuma kawin melulu!" atau
- "Ah, nggak usah capek-capek belajar Islam, tuh lihat orang ahli Islam aja tingkah lakunya seperti itu!"
– akibat kecewa melihat "kemunafikan" orang-orang yang sebelumnya
diidolakan.
Mereka menilai suatu agama dari perbuatan pemeluk-pemeluknya, serupa
dengan banyak orang di banyak negara yang menilai Islam sebagai agama
yang buruk akibat melihat perbuatan buruk pemeluknya.
Atau bisa pula kekecewaan mereka timbul akibat melihat pertikaian yang
tidak kunjung habis antara internal pemeluk agama sendiri, baik yang
berbeda pandangan atau pun akibat banyaknya sekte-sekte di dalam Islam.
Bagi banyak orang mungkin banyaknya paham-paham dalam Islam ini membuat
mereka bingung sehingga merasa frustasi dalam memahami
perbedaan-perbedaan yang ada ini. "Islam yang mana?" menjadi pertanyaan
yang tidak asing lagi di telinga kita. Tiap-tiap pandangan yang berbeda
sama-sama berusaha mendasarkan pandangannya dengan Qur'an maupun hadits
Nabi. "Islam warna-warni", "Islam multi-interpretasi", "jangan mengklaim
kebenaran sendiri", dll, juga sering terlontar secara apriori tanpa ada
usaha melihat dan menganalisa setiap pandangan yang berbeda ini.
Ada baiknya kerangka dasar dalam berpikir atau berargumentasi yang benar
dipahami oleh setiap Muslim terutama para generasi mudanya sehingga
mereka dapat meresponse dengan baik argumen-argumen yang banyak ditemui
dalam pergolakan pemikiran (ghazwul fikr) baik dari kalangan internal
(paham liberalism, extremism, sectarians, dll) dan kalangan external
(atheism, orientalism, missionaries, Islamophobic, dll).
Sebenarnya para ulama sejak dulu dalam membahas masalah-masalah agama,
baik itu dalam hal ushul fiqh, ibadah, aqidah, maupun muamalah, selalu
menggunakan metode-metode maupun kerangka berpikir yang bisa dijumpai
dalam kitab-kitab mereka. Sayangnya saya amati cara berpikir seperti ini
kini sering hilang dalam argumen-argumen orang Islam ketika meresponse
pendapat yang berbeda, yang sering kali lebih terasa nada emosionalnya
daripada bobot argumennya.
Kerangka berpikir sebenarnya dibuat untuk menghindari
kesalahan-kesalahan dalam berargumentasi (fallacy). Beberapa contoh
fallacy ini antara lain:
- "Inconsistent": Contohnya si A bilang "Sirah dan hadits tidak bisa
dipercaya karena banyak isinya yang tidak masuk akal". Tapi ketika A
ditanya dari mana ia tahu adanya seorang Nabi yang bernama Muhammad,
atau dari mana ia tahu Qur'an yang ia percayai terjaga kemurniaannya
sejak zaman Nabi sampai sekarang, bila si A menjawab dengan basis sirah
dan hadith, ini namanya inkonsistensi. Kalau tidak percaya sirah dan
hadits, mengapa masih dipakai untuk dasar keimanannya?
Contoh lainnya adalah sikap misionaris yang ketika menghujat Nabi SAW
dengan leluasa menggunakan cuplikan-cuplikan hadits dan sirah sesukanya
(Nabi berpoligami, kisah=kisah dalam peperangan beliau, dlsb). Tapi
ketika ditunjukkan hadits dan sirah dari sumber yang sama, yang
menunjukkan tanda-tanda kenabian Nabi seperti mu'jizat-mu'jizat beliau,
mereka berkomentar bahwa hadits dan sirah tidak bisa dipercaya karena
dibukukan jauh sesudah Nabi wafat. Kalau tidak bisa dipercaya, mengapa
tadi masih dipakai untuk menghujat Nabi?
Contoh lainnya adalah sikap yang membenarkan semua pendapat yang pada
kenyataannya jelas-jelas berbeda. Kalau ada orang yang bilang "Semua
interpretasi atau tafsiran agama adalah sah-sah saja dan benar adanya
karena kebenaran itu relatif sifatnya", maka ia harus bisa konsisten
untuk tidak menyalahkan pendapat yang menghalalkan terorisme membunuh
orang-orang tak berdosa, atau pendapat-pendapat yang menghalalkan sex
bebas, incest, dlsb, dengan alasan selama suka sama suka dan tidak
merugikan orang tidak ada salahnya. Apakah dua pendapat yang berbeda,
yang satu
bilang halal, yang lain bilang haram, benar kedua-duanya? Kalau kita mau
jujur, kita akan mengakui bahwa "logical circuit" dalam otak kita jelas
menolaknya.
- "Incomprehensive": Si A bilang "Orang Islam diajarkan Qur'an
ayat 5:51 untuk membenci dan dilarang berteman dengan orang-orang
non-Muslim."
Selain harus memiliki pengetahuan akan makna kata-kata, context maupun
historical perspectives, si A sebelum mengeluarkan penafsirannya akan
ayat tersebut seharusnya tahu ada ayat-ayat Al Qur'an lain yang
menjelaskan lebih jauh mengenai hal serupa, misalnya 60:8. Pengetahuan
yang partial terhadap hal-hal ini akan menyebabkan kesalahan dalam
mengambil kesimpulan.
- "Out-of-context": Si A bilang "Dalam Al Qur'an ayat 9:5, orang
Islam diperintahkan membunuh orang-orang musyrik di mana saja mereka
jumpai". Si A seharusnya tahu konteks diturunkannya ayat tersebut
sebelum mengambil kesimpulan demikian (yaitu peperangan Nabi dengan
orang-orang kafir Quraisy serta sekutu-sekutu mereka yang memerangi umat
Islam saat itu).
- "Generalization": Ini serupa dengan pepatah "Karena nila
setitik rusak susu sebelanga". Si A menuduh Islam sebagai agama teroris
karena di antara pemeluk-pemeluknya tidak sedikit melakukan aksi
terorisme dengan dalih agama. Si A seharusnya tahu bahwa kalau dilihat
persentasinya, mayoritas umat Islam adalah umat yang cinta damai dan
tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama yang jelas-jelas
melarang aksi terorisme. Apakah orang-orang Kristen di barat rela kalau
agamanya dituduh sebagai agama penjajah "gold-glory-gospel" karena
perlakuan sebagian kelompok mereka
terhadap bangsa-bangsa di dunia?
- "Double-standard": Si A yang beragama Kristen bilang "Islam
adalah agama palsu karena Nabinya berpoligami". Seharusnya si A tahu
bahwa Nabi-Nabi yang diakui dalam agamanya sendiri berpoligami. Atau si B
yang mengutuk pembunuhan orang-orang tak bersalah sebagai perbuatan
terorisme, tapi di lain waktu si B tidak mengutuk pembunuhan serupa
malah melabelnya sebagai "collateral damage". Dengan menggunakan
standard yang sama, pembunuhan orang-orang tak bersalah akan selalu
dikutuk sebagai tindakan terorisme, tidak peduli siapa korban dan siapa
pelakunya.
- "Straw-man" : menyerang argument yang sudah diubah bentuknya
(biasanya dicampur "half-truth" atau "twisted-truth"). Misalnya si A
menuduh "Al Qur'an merendahkan status wanita di bawah status laki-laki".
Meskipun dalam Qur'an disebutkan "Laki-laki adalah pelindung/pemimpin
kaum wanita" ini tidak berarti di dalam Islam status wanita itu lebih
rendah dari status laki-laki karena masing-masing memiliki role yang
berbeda dalam pandangan Allah SWT.
- "Red-herring" : mengalihkan subject sehingga bukan membahas
argument yang tengah didiskusikan, tapi argument lainnya. Misalnya,
ketika si A ditanya tentang kontradiksi di dalam Bible, bukannya
menjawab pertanyaan tersebut, si A malah membawa tuduhan banyaknya
kontradiksi di dalam Qur'an.
- "Appeal to authority": Si A bilang ke si B "Argument anda pasti
salah karena berlawanan dengan pendapat seorang professor yang ahli
dalam bidang ini". Si A sudah men-shut-off the discussion hanya dengan
merefer ke authority yang dipercayainya, tanpa menjelaskan argument si
professor yang disebutnya tadi.
- "Ad-hominem"
(argument to the man): bukan argumentnya yang dibahas, tapi yang
diserang adalah pribadi lawan debat yang tidak berhubungan dengan
argument yang didebatkan. Misalnya, "Pendapat si A itu sudah pasti salah
karena si A itu tidak pernah sekolah di pesantren", atau "Ah, pendapat
si B yang playboy kayak gitu kok dibahas!". Padahal logis tidaknya suatu
argument tidak bisa ditentukan dari pribadi orang yang berargument.
Dalam beargumentasi, yang harus dilihat adalah argumentnya, jangan
diserang orangnya, etc.
Kerangka berpikir hanyalah "tool" (framework) yang bisa digunakan dalam
proses berpikir kita, yang tidak hanya berhubungan dengan
masalah-masalah agama, tapi juga masalah-masalah dalam hidup lainnya.
Karena hanya general framework untuk proses berpikir, ia bisa dipakai
oleh siapa saja. Karena itu sayang kalau ketika berdiskusi dengan
orang-orang non-Muslim orang-orang Islam tidak memahami framework ini.
Mungkin dengan mengetahui kerangka dasar dalam berpikir dan
berargumentasi macam ini, metode dalam memahami permasalahan dan
perbedaan pandangan dalam agama dapat dimengerti, sehingga
diskusi-diskusi maupun debat-debat dalam memahami agama dapat berjalan
dengan baik, dengan menganalisa argument masing-masing pihak yang
berbeda, tanpa menyerang pribadi, sehingga pertikaian dan perpecahan
yang tidak diinginkan bersama bisa dihindari.
M.Ridha
Milis Eramuslim.
Dikirim oleh: M.Ridha
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar